Zubair bin Awwam merupakan sahabat Rasulullah Saw yang paling berbakti. la termasuk orang yang paling piawai dalam menunggangi kuda dan pejuang yang tak kenal menyerah. Kerabat dekat Rasulullah Saw ini senantiasa membela kebenaran Islam di sepanjang kehidupannya.
Zubair bin Awwam dilahirkan oleh seorang wanita pemberani, Shafiah. la ditinggal wafat ayahnya ketika masih balita. Meski sendirian, Shafiah mendidik anaknya dengan kekerasan. Tujuannya adalah mengantarkan Zubair menjadi orang yang gagah dan berani. Setiap hari, ia memaksa belajar dan bekerja keras agar anaknya menjadi orang cerdas dan kuat.
Dalam sebuah riwayat, Naufil melihat Zubair sedang dipukuli Shafiah, la pun melaporkan kepada pemimpin Bani Hasyim karena kasihan. "Shafiah merupakan wanita yang kejam dan sering melakukan penganiayaan kepada anaknya." Ketika Shafiah mendengar tentang berita tersebut. Ia menyatakan bahwa dirinya menganiaya untuk mendidik anaknya agar menjadi orang yang bijaksana bukan menganiaya. Barang kali pendidikan pendidikan semacam itulah yangmenjadikan Zubair bin Awwam menjadi sahabat yang paling pemberani. Ia selalu siap menghadapi segala macam bahaya, menanggung semua rasa sakit dan masalah selama awal kehadiran Islam di Makkah.
Shafiah merupakan sahabat Rasulullah Saw. la termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun. la masuk Islam bersama Zubair bin Awwam yang masih berumur 15 tahun. Selain itu, umur 18 tahun, Zubair ikut hijrah. Posturnya tinggi dan kulitnya putih.
Saat kecil. Zubair sangat disayangi oleh pamannya, Naufil. Akan tetapi ketika ia memutuskan untuk meninggalkan agama nenek moyang dan masuk Islam, pamannya berubah drastis. la sangat memusuhinya. Bahkan Naufil lebih kejam dari Ibunya yang dulu memukulinya setiap hari.
Ketika mengetahui Zubair masuk islam, Naufil sangat marah dan berusaha menyiksanya. Bahkan, ia pernah dimasukkan dalam karung lalu dibakar. Sang paman berkata kepadanya, "Lepaskan dirimu dari Tuhannya Muhammad, maka saya akan melepaskan dirimu dari api ini." Namun, Zubair menolak dan berkata kepada pamannya. "Tidak, demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya."
Zubair meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk meninggalkan bumi Makkah. Tujuannya, ia ingin bebas dari siksaan sang paman. Setelah mendapat izin, Zubair berhijrah ke Abyssinia. Tak lama di tempat ini. Zubair kembali ke Makkah dan memulai bisnis, Bisnisnya berkembang pesat sehingga menjadikannya kaya raya. Selain Utsman, ia menjadi salah satu sahabat yang paling kaya.
A. Siapa yang Membunuh Rasulullah Saw ?
Pada suatu hari, Zubair mendengar isu bahwa Rasulullah Saw telah wafat. la pun keluar menuju jalan-jalan di Makkah dengan mengangkat pedangnya. la membuat seluruh penduduk Makkah ketakutan. la pergi untuk mencari kepastian dari isu itu. la pun berjanji, jika kabar wafatnya Rasulullah Saw itu benar, maka ia akan membunuh orang yang telah membunuh.
Baca Juga : Kisah Islami | Auf bin Harits al-Afra
Akhirnya, Zubair bertemu dengan Rasulullah Saw di utara Makkah dan beliau bertanya, "Kenapa kamu bersikap seperti itu, Zubair?" Zubair menjawab, "Aku mendapat kabar bahwa engkau telah terbunuh." Beliau berkata kepadanya, "Lalu, apa yang akan engkau lakukan?" Zubair kemudian berkata, "Aku akan membunuh orang yang telah membunuhmu."
Rasulullah Saw pun tersenyum. Sambil menunjuk pedang yang sedang dipegang Zubair, beliau berkata, "Inilah pedang pertama yang diangkat karena Allah dan Rasul-Nya."
Zubair merupakan salah satu sahabat yang ikut berhijrah ke Habasyah. la tinggal di tempat ini sampai Rasulullah Saw mengizinkannya kembali ke Madinah. la tidak pernah absen dalam mengikuti peperangan bersama Rasulullah Saw.
Ketika Perang Khandaq berlangsung, Rasulullah Saw bertanya: "Siapa yang berani mencari informasi tentang Bani Quraidzah?" Zubair kemudian berkata, "Saya" Kemudian, beliau bertanya untuk kedua kalinya dan Zubair menjawab, "Saya". Rasulullah Saw bertanya untuk yang ketiga kalinya dan Zubair pun menjawab, "Saya". Maka, Rasulullah Saw berkata, "Setiap nabi memiliki pengikut setia, dan Zubair adalah pengikut setiaku serta anak bibiku."
Pada Perang Yarmuk, Zubair bertarung dengan pasukan Romawi. Tentara muslim tercerai-berai, la berteriak, "Allahu Akbar". Kemudian, Zubair pun menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan kanan. Aisyah berkata kepada Urwah bin Zubair "Sesungguhnya kedua orang tuamu merupakan orang yang mengikuti seruan Allah Swt dan Rasul-Nya, walaupun mereka terluka."
Selain pemberani, Zubair merupakan salah satu sahabat yang merindukan mati Syahid. la berkata, "Thalhah bin Ubaidillah menamai anak-anaknya dengan nama para nabi. Padahal, ia telah tahu bahwa tidak akan ada nabi setelah Rasulullah Saw. Oleh karenanya, aku menamai anak-anakku dengan nama syuhada dengan harapan semoga mereka memperoleh syahidah (mati syahid)."
Dengan kekayaan melimpah Zubair menjadi sahabat yang sangat dermawan. la selalu menyedekahkan harta di jalan Allah Swt. Ka'ab berkata, "Zubair memiliki 1.000 macam kekayaan yang dikeluarkan untuk berperang. Dan, tidak ada uang satu dirham pun yang masuk ke rumahnya."
Zubair menyedekahkan seluruh hartanya. Ketika wafat, la mempunyai tanggungan utang. la pun berwasiat kepada anaknya untuk membayarkan uang tersebut. Zubair berkata kepada Abdullah bin Zubair. "Jika engkau tidak sanggup membayar utangku. maka mintalah tolong kepada Tuanku" Abdullah pun kemdian bertanya, "Siapakah yang engkau maksud dengan Tuan? Zubair menjawab, "Allah Swt. Dia-lah sebaik-baik pemimpin dan penolong." Setelah itu Abdullah berkata. "Demi Allah, saya tidak pernah mengalami kesusahan dalam membayar utangnya, kecuali saya berkata, 'Wahai pemilik Zubair bayarlah utang Zubair,' maka Dia pun menggantinya."
Baca Juga : Kisah Islami | Ja'far bin Abi Thalib
Meskipun selama hidup bersama dengan Rasulullah Saw, Zubair tidak banyak meriwayatkan hadits. Anaknya, Abdullah, pur bertanya. "Kenapa engkau tidak meriwayatkan hadits Rasulullah Saw."
Zubair menjawab, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda. 'Barang siapa berkata dusta atasku dengan sengaja, maka akan ditempatkan di neraka'". Atas alasan inilah ia tidak banyak meriwayatkan hadits. la takut jika perkataan yang disampaikan tidak sesuai dengan harapan Rasulullah Saw.
B. Tangisan Ali bin Abi Thalib
Saat terjadi Perang Jamal, tahun 36 Hijrah, Thalhah dan Zubair bergabung dengan Aisyah untuk berperang melawan Ali bin Abi Thalib. Ketika melihatnya, Air mata Ali bin Abi Thalib menetes.
Ali memanggil Thalhah, lantas kemudian berkata, "Wahai Thalhah, pantaskah engkau membawa istri Rasulullah Saw untuk berperang bersamamu, sedangkan engkau meninggalkan istrimu diam di rumah?"
Lalu Ali berkata kepada Zubair, "Wahai Zubair, aku meminta jawabanmu dengan nama Allah Swt, apakah engkau ingat ketika suatu hari Rasulullah saw berlalu di depanmu dan kita berada di suatu tempat lalu beliau berkata kepadamu, 'Wahai Zubair, apakah engkau mencintai Ali?' Maka, engkau menjawab, 'Mengapa aku harus membenci saudara sepupuku, anak paman, dan bibiku, dan ia termasuk orang yang seagama denganku?' Beliau berkata lagi kepadamu, 'Wahai Zubair, demi Allah, engkau akan memeranginya, dan itu jelas bahwa engkau berlaku zhalim kepadanya."
Zubair lantas menjawab, "Ya, aku ingat sekarang, hampir saja aku melupakannya. Demi Allah, aku tidak akan memerangimu." Ia pun kemudian memutuskan untuk tidak mengikuti Perang Jamal tersebut.
Ketika Zubair pulang dari medan perang menuju rumahnya, ia dikuti oleh seseorang. Saat menjalankan Shalat di Lembah Siba, Zubair di bunuh.
Setelah Wafat, pedang Zubair bin Awwam diberikan kepada Ali bin Abi Thalib. Sambil menangis, Ali mencium pedang itu dan berkata, "Demi Allah Swt, inilah pedang yang mulia. Pedang inilah yang digunakan pemiliknya untuk melindungi Rasulullah Saw dari mara bahaya"
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib berteriak dan berkata kepada pembantunya, "Berikan kabar kepada pembunuh putra Shafiah dengan neraka, sungguh Rasulullah Saw pernah bersabda kepada saya bahwa pembunuh Zubair adalah penghuni neraka."
Sumber
- Asep BR, Al-Qur'an dan Hadits untuk kelas III Ibtidaiyah (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm. 45.
- AF. Rozi, Hikayat Syahid Paling Wangi (Jogjakarta: Sabil, 2014), hlm. 119-126.